...

...

Kamis, 07 Mei 2009

Siluet Senja


Yuliani / 9.2 – Juara 1 Menulis Cerpen Islami
BGMKP 2008


 “Ibu, apa ibu mau aku buatkan teh hangat?”
 “Tidak.”
 “Ibu mau makan?”
 “Tidak, Nduk. Ibu hanya ingin menunggu bapakmu.”
 “ …”
 Itulah beberapa percakapan singkat kami malam ini. Ibu selalu menjawab itu setiap kali aku Tanya. Aku lebih baik diam dan membiarkan ibu berdiam diri dengan semua kenangannya. Entah kenapa, semenjak kematian bapak, ibu lebih sering berdiam diri. Pernah suatu ketika, aat itu ibu tertidur lelap, beliau terus memanggil nama bapak dan menangis. Kasihan ibu …
 Setelah kematian bapak, kehidupan kami berbalik bahkan berputar seratus delapan puluh derajat. Jika dulu ada kehangatan dalam canda tawa, kini hanya ada kesepian dalam prahara jiwa. Jika dulu ada bangga dalam rasa, kini hanya ada luka dalam dada. Meninggalkan rintih dalam pedih, pilu …
 Malam semakin mencekam. Lewat cahaya rembulan yang merona pucat pasi, binatang malam menemani dinginnya dunia dalam sepinya alam, angin berhembus, sepi. Hanya itu teman sejati ibu untuk menjemput hari esok yang masih sama.

***

 Sang mentari duduk indah dalam kursi singgasananya. Titik-titik embun menetes pasrah meninggalkan kisah lalu untuk kembali menulis kisah hari ini. Kicauan burung menambah cerahnya dunia dalam indahnya alam.
 Aku bergegas menyiapkan semua hal untuk hari ini, setelah sholat shubuh selesai kulakukan. Mulai dari jadwal pelajaran, makanan hingga koran yang siap aku jajakan.
 “Ibu, ini makanan untuk ibu sudah aku siapkan. Ibu jangan lupa memaknnya. Aku tidak mau ibu sakit. Yudi berangkat dulu ya,Bu? Assalamu’alaikum ….”
 “Wa’alaikum salam warahmatullah …”

***

 Sepulang sekolah, aku terbiasa menjajakan Koran. Mulai dari pemberhentian jalan hingga mendatangi para pelanggan. Tak ada yang istimewa hanya untuk meringankan beban ibu.
 Tapi, siang ini matahari terasa panas menyengat tubuh meninggalkan titik-titik keringat dalam bajuku hingga kuputuskan untuk pulang.
 Sesampainya di rumah, aku melihat ibu duduk di kursi rodanya sembari melihat keluar. Tatapannya kosong, hampa tak berarti apa-apa. Tak terasa, butiran hangat membanjiri pipiku.
 “Assalmu’alaikum …”
 “Wa’alaikum salam …”
 Hanya itu jawaban itu, sangat singkat. Kemudian beliaupun kembali pada lamunannya yang sempat terusik oleh kehadiranku.
 Seusai sholat asar, aku menemui ibu sambil membawa teh hangat kesukaannya.
 “Nduk, ibu mau bertemu dengan bapak Ibu rindu bapak..”
 Deg! Ucapan itu menembak jantungku. Perih, tak sanggup menahan semua ini.
 “Ibu, Ibu mau makan lagi?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
 “Tidak, Nduk. Ibu ingin bertemu bapak…”
 Ya Allah, kuatkanlah aku …. Aku tak sanggup menerima semua cobaan ini. Perlahan aku meletakkan the itu dan bersimpuh di hadapan ibu. Akupun mencium tangan ibu. Tetapi aku merasakan ada hal ganjil dalam tatapan ibu. Pertanda apakah ini, Ya Allah ??? Aku mengangkat wajahku. Oh Ya Allah … wajah itu, wajah penuh kedamaian dengan senyuman tersungging membingkai bibir.
 Ibu, wanita yang selama ini setia menemaniku kini telah pergi, melayang damai menjemput asa menggapai cita untuk bertemu bapak.
 “Ibu, kini ibu bias bertemu dengan bapak yang menjadi impian ibu selama ini. Semoga ibu bahagia …”
 Aku tak kuasa lagi, luka, pilu, perih, tak berdaya. Tapi harus kuakui bahwa setiap yang bernyawa akan mengalami kematian, siapapun, dimanapun dan kapanpun itu. Satu do’aku, semoga Allah swt mengampuni semua dosa kedua orangtuaku dan menempatkan mereka di tempat terbaik di sisiNya. Amiiin …

Kiprah Pustakawan Siswa

     Begini kalau pustakawan sedang mengolah buku koleksi agar siap pinjam


 Pustakawan melayani peminjaman

 Di tengah pengunjung, pustakawan siswa masih setia 

Begini kalau mereka sedang berlomba

  Lomba Baca Puisi         

    Para juri tengah menilai Lomba Reading

 Lomba Pidato kelas VII

  Kaligrafi