...

...

Senin, 08 Juni 2009

DI SAAT PELAJARAN MEMBACA


Elsana Santi/9.2 - Juara 2 
Menulis Cerpen Islami BGMKP 2008


Bu Jihan menyuruh anak-anak untuk membacakan karangan tentang pekerjaan orangtua mereka di depan kelas. Tiba-tiba perut Anwari terasa sangat mulas. Diliriknya kertas karangannya dengan putus asa.

Anwari bercerita tentang ayahnya yang bekerja sebagai dokter anak. Ia menceritakan bagaimana cemasnya ibu-ibu ketika anaknya sakit. Ia juga bercerita bagaimana ayahnya menangani pasiennya dengan ramah dan sabar. Rasanya ia sudah membaca dan menuliskannya dengan benar. Tapi ia tahu betul apa yang akan terjadi jika ia membacakannya di depan kelas.

 “Anwari,” ucap Bu JIhan memanggil namanya dari daftar nama murid. Dilihatnya teman-temannya yang duduk di depan sudah mulai tertawa pelan karena akan ada suatu hal yang lucu pada saat itu.
 “Mati aku,” ucap Anwari putus asa. Diraihnya kertas karangan karyanya dan maju ke depan kelas.
 “Wah, akan ada pertunjukan gratis, nih!” ujar Esqi keras. Tawa seisi kelaspun pecah. Anwari semakin takut. “andai saja bumi ini terbelah pasti aku akan dengan senang hati masuk ke dalamnya.” Mungkin itulah gambaran keputusasaan Anwari.
 “Ibu tidak melihat ada yang lucu, Esqi!” ucap Bu Jihan sambil melemparkan tatapan tajam kepada seluruh kelas terutama Esqi.
 “Saya tidak tertawa, Bu!” bantah Isqi.
 “Sekarang kamu harus membuat karangan tentang siapa dirimu sebenarnya dalam sepuluh menit,” ujar Bu Jihan kepada Esqi. Esqipun mulai mengerjakan tugasnya dengan perasaan kesal.
 “Bagaimana Anwari kamu sudah siap?” Tanya Bu Jihan. Anwaripun mulai membacakan karangannya.
 “Ayahku se …seo-ongar…dopter anak…” ujar Anwari dibarengi tawa seisi kelas. Diliriknya Bu Jihan dengan mata berkaca-kaca. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat menahan tangis. Ia tahu, jika ia menangis maka teman-temannya akan mengatainya “banci” dan ia tak mau itu.
 “Anwari, apa kamu sanggup meneruskan membaca karanganmu?” tanya Bu Jihan. Anwari menggeleng kuat-kuat.
 “Sudah, duduk saja, tenangkan pikiranmu dulu,” ujar Bu Jihan lembut. 

***

Setelah selesai pelajaran membaca, Esqi yang kesal karena dihukum oleh Bu Jihan gara-gara Anwari menyindir Anwari.
 “Mana ada sih di dunia ini anak kelas 5 SD belum bias membaca seperti dia!” Anwari pura-pura tidak mendengar.

 

Esoknya Anwari tidak masuk sekolah. Hari berikutnyapun sama. Sampai pada hari ke tujuh ia tidak masuk sekolah. Pada hari ke delapan Bu Jihan menyampaikan sesuatu kepada anak didiknya.

 “Anak-anak, sudah delapan hari Anwari tidak masuk sekolah dan sekarang ada salah seorang teman kalian yang ingin menyampaikan sesuatu kepada kalian,” kemudian Bu Jihan melambaikan tangannya ke arah pintu.
 Di balik pintu, tiba-tiba muncullah sesosok anak kelas 5 SD, Anwari. Perlahan ia mulai memasuki ruangan kelas dengan perasaan malu. Tapi ia memberanikan diri untuk menatap teman-temannya.
 “Apa yang akan kamu ceritakan pada teman-temanmu, Anwari?” Tanya Bu Jihan.

 

Kemudian Anwari menceritakan hasil pemeriksaan dokter dan psikotes terhadap dirinya. Ia menderita disleksia. Penyakit inilah yang menyebabkannya kesulitan membaca. Tidak lupa ia juga meminta doa dan semangat dari teman-temannya untuk membantunya dalam proses penyembuhan.

 “Anak-anak, ingatkah kalian dengan Christian Andersen dan Agatha Christie, pengarang terkenal itu? Mereka juga mengalami disleksia. Tapi mereka dengan segala keterbatasannya dapat membuktikan pada dunia bahwa mereka bias lebih. Ingatkah kalian, di luar pelajaran membaca Anwari tidak pernah emndpat nilai di bawah sembilan?” ujar Bu Jihan.

 

Tiba-tiba Esqi berdiri dan berkata, “Kalau begitu kami minta maaf kepada Anwari. Tapi, nanti jika kamu terkenal kami boleh dong mendapat hak untuk menjual tanda tangannya!” ujarnya sambil tersenyum jenaka.

 Semua tertawa mendengarnya, Anwari juga. Dengan lega dan bahagia ia menerima permintaan maaf dari teman-temannya. Bu Jihanpun senang ada peristiwa berharga terjadi di jam pelajarannya. (red)